Hingga saat ini, rapid test dan PCR test. Meski demikian, fasilitas untuk tes ini terbilang masih terbatas. Terlebih, untuk PCR test.

Keterbatasan fasilitas tes PCR, membuat rapid test makin banyak digunakan sebagai alternatif untuk mengetahui status Covid-19. Terutama, untuk memenuhi syarat bepergian bagi penumpang pesawat atau kereta jarak jauh.

Untuk hasil rapid test sendiri – pemerintah masih belum menetapkan status orang dengan hasil reaktif. Pemerintah lebih memilih untuk mewajibkan seseorang dengan hasil rapid test reaktif melakukan isolasi mandiri, sekitar 14 hari.

Mengingat tingkat akurasi rapid test yang masih rendah, banyak masyarakat jadi tidak percaya pada metode tes satu ini sebagai alat skrining. Bahkan, masyarakat cenderung khawatir akan beban psikologis dan finansial dari hasil rapid test tersebut.

 

 

 

Kasus Positif Palsu Pada Rapid Test

Hasil Rapid Tes Tak Akurat, Dapat Sebabkan Beban Psikologis / Credit: medium.com

Berdasarkan riset uji coba alat tes cepat buatan Universitas Gadjah Mada, pengujian dilakukan di 25 Puskesmas, Sleman, Yogyakarta pada Juni silam. Penelitian ini melibatkan sekitar 1.500 petugas medis.

Dalam riset tersebut, ditemukan bahwa sebagian besar masyarakat menolak mengikuti rapid test, karena takut mendapatkan hasil reaktif. Ragam reaksi ini dapat dibilang wajar, mengingat betapa beratnya stigma yang melekat pada pasien Covid-19.

Bahkan, salah satu peserta dengan hasil reaktif harus rela berpindah dari tempat tinggalnya, karena sudah tidak diterima di sana. Meski, hasil PCR test negative, kasus seperti ini kerap terjadi. Dan, pada beberapa peserta, kewajiban isolasi juga berdampak pada penghasilan harian.

Menurut riset yang dilakukan di Sleman ini, disimpulkan bahwa terdapat beberapa konsekuensi psikologis dan material yang dipicu oleh hasil positif palsu dari rapid test. Misal, pasien yang mendapat hasil positif palsu dari rapid test akan mengalami kecemasan, perasaan kecewa, dan gangguan tidur.

Selain itu, hasil positif palsu dapat menyebabkan kerugian material. Pasalnya, pasien harus membayar kunjungan ke rumah sakit dan menjalani sejumlah pemeriksaan.

 

 

 

Apa Yang Dapat Dilakukan?

Hasil Rapid Tes Tak Akurat, Dapat Sebabkan Beban Psikologis / Credit: healthing.ca

Saat ini, kebijakan pemerintah mewajibkan orang dengan hasil rapid test reaktif, harus melakukan isolasi. Dan, mereka pun dianjurkan untuk menjalani PCR test dalam rangka mengonfirmasi diagnosis.

Alangkah baiknya jika seseorang mendapatkan hasil rapid test reaktif, ia tak perlu melakukan isolasi selama 14 hari. Tapi, diwajibkan untuk memperketat protokol kesehatan dan kondisinya diperhatikan. Selain itu, pasien juga perlu difasilitasi untuk menjalani PCR test, sehingga hasil dapat dikonfirmasi secepatnya.

Sebaliknya, pasien dengan hasil non-reaktif juga sebaiknya tetap tidak dianjurkan untuk melakukan berbagai aktivitas atau perjalanan sebelum ada konfirmasi hasil PCR. Intinya – PCR test harus disediakan bagi pasien reaktif dan non-reaktif.

Dengan penyesuaian tersebut, diharapkan kewaspadaan masyarakat terhadap Covid-19 semakin terjaga, tanpa harus memperburuk stigma baik pada rapid test.

 

 

Featured Image - pikiran-rakyat.com

Source - theconversation.com